Seorang kiai memimpin sebuah pesantren
kecil di Kebondalem, bernama KIai Haji Anwar, terkenal sabar dan wara’.
Wajahnya selalu bersih karena keikhlasannya. Ia tidak pernah mengeluh
walaupun hari-harinya dipenuhi kesibukan mengurus para santri dan
masyarakat sekitarnya.
Ia tidak pernah menolak udangan, kecuali
jika ada halangan yang tidak mungkin ditinggalkannya. Kepada orang kaya
ia baik, kepada orang melarat ia lebih baik. Kalau ada jemaah yang
meninggal dunia, ia paling dulu tiba dan paling belakang pulang. Jika
melawat kek kuburan selalu paling depan meskipun umurnya paling tua.
Suaranya menggeletar apabila membaca talkin di depan makam, membuat yang
di kuburan bersumpah akan tobat sekembali mereka dari upacara
pemakaman. Paling tidak janji itu dilaksanakan waktu belum seberapa jauh
berjalan pulang. Apakah yang mati mendengar talkin yang dibacanya atau
tidak, Kiai Anwar hanya mengembalikan urusannya kepada Yang Maha
Mendengar, yaitu Allah, tempat berpulang semua makhluk.
Kiai Haji Anwar hampir selalu pulang
larut malam. Sebab ia mengajar dari pagi hingga larut. Ia bersedia
mendatangi pengajian dimanapun ia dibutuhkan. Ia tidak berpegang pada
aturan, gayung harus mendatangi tempayan. Jika perlu tempayan yang
menggelinding mendatangi gayung-gayung yang kehausan.
Lepas subuh ia sudah mengajar. Pada saat pencuri keluar, ia baru pulang. Maka kampungnya aman melebihi centeng penjaga malam. Biasanya ia pulang jam dua belas. Jam
satu tidur, jam tiga bangun untuk melaksanakan shalat tahajud, kemudian
membaca Alquran pelan-pelan menunggu bedug dipukul. Begitu tiap malam.
Tidurnya hanya sedikit. Makannya Cuma sedikit. Amalnya yang banyak.
Sedekah orang tidak pernah ditolak, tetapi ia tidak pernah memintanya.
Yang disimpan hanya sebagian, selebihnya menjadi rezeki orang-orangyang
tidak bisa membayar hutang, atau lantaran yang mau berobat lantaran
sakit.
Pada usatu hari jam dua ia baru tiba
dirumah, sebab ada seorang ayah santri sedang sakaratul maut, yang
terpaksa ditungguinya hingga nyawanya terlepas sambil bibirnya
mengucapkan kalimat tauhid berkat bimbingannya. Istrinya telah tertidur
menunggu kedatangannya yang begitu larut. Hampir setengah jam baru
anaknya terjaga, itu pun setelah si bayi mengencinginya.
Kiai sesudah berwudlu baru tidur, kurang
lebih pukul setengah tiga malam. Ternyata malam itu ia tidak bisa
menikmati mimpinya terlalu lama. Jam tiga malam kutu-kutu busuk di
balai-balainya kelaparan sehingga salah seekor menggigit pahanya. Kiai
terbangun.
Umumnya orang lain akan marah-marah
kepada binatang kecil itu, yang sering juga dinamakan kepinding.
Danbiasanya nasib kepinding sudah dapat diramal kalau tertangkap oleh
manusia. Dipencet remuk hinggakeluar darah hitamnya, disertai kutuk dan
serapah karena sudah mengusik istirahat manusia yang sedang lelah dan
diserang kantuk.
Namun ,Kiai Haji Anwar tidak. Pada waktu
makhluk kecil yang terkenal dengan nama bangsat itu tertangkap oleh
tangan kanannya, sama sekali tidak disakitinya. Dipindahkannya bangsat
itu ke tempat lain, supaya tidak mengganggunya lagi. Lalu sambil
menggaruk-garuk pahanya yang gatal, Kiai Anwar berkata,
“Alhamdulillah,untung ada kepinding. Andaikata tidak ada makhluk kecil
yang disebut kepinding ini, pasti aku tidak akan bisa merasakan
nikmatnya menggaruk-garuk paha yang gatal.”
Memang, dalam benak Kiai Anwar terbersit
pikiran, karena ada kepindingyang menggigit pahanya maka ia merasa gatal.
Dengan adanya rasa gatal, kalau digaruk nikmat. Tapi kalau tidak ada
rasa gatal, digaruk-garuk bahkanmenjadi merah dan sakit kulitnya.
Dikutip Dari : Cerita Islami