Dari
berbagai macam statistik dari seluruh badan statistik yang ada di dunia
ini mungkin Indonesia tidak bisa memungkiri bahwa negara yang kita
cintai ini termasuk dalam salah satu negara miskin di dunia dengan angka
kemiskinan dan kebodohan yang tinggi. Anggaran sebesar 20% untuk
pendidikan pun saya
rasa tidak cukup karena dari 20% yang dianggarkan sudah (pastinya)
disunat sana-sini. Harap maklum. Bukan masalah itu yang akan saya bahas
kali ini. Hal penting yang akan saya bahas pada artikel kali ini adalah
terkait opensource versus proprietary dan hubungannya dengan idealisme
versus realitas.
Opensource, sudah kita kenal pada
hakikatnya, mempunyai konsep berbagi dengan asas memperoleh manfaat
tanpa batas dan didukung oleh komunitasnya masing-masing. Konsep berbagi
ini secara utuh memberikan manfaat bagi para penggunanya dengan biaya
yang kecil dikarenakan ada rasa kemanusiaan di dalamnya. Sebaliknya
dengan proprietary yang mempunyai konsep komersil, jelas biaya yang
tidak kecil untuk membayar lisensinya. Idealisme adalah rasa di mana
selayaknya kondisi tertentu pantas dilakukan dengan menjauhi hal-hal
yang tidak diinginkan dari kondisi ideal yang telah menjadi lumrah di
mata masyarakat. Dan realitas merupakan kondisi nyata yang sesungguhnya
terjadi di mana segala sesuatunya berjalan apa adanya tanpa memikirkan
rasa idealisme yang ada di mata khalayak umum.
Indonesia kita ketahui mempunyai
anggaran yang tergolong kecil untuk negara sebesar ini, Nusantara
rupanya terlalu luas dan kompleks dengan berbagai macam urusan di
dalamnya, sehingga anggaran yang ada sebisa mungkin dihemat agar segala
kebutuhan bangsa ini bisa terkoordinasi dengan baik. Memang mudah untuk
berucap, tetapi setidaknya ada usaha untuk ke sana. Di negara ini kita
ketahui bahwa pembajakan menjadi hal yang biasa, entah tabiat dari mana,
yang jelas ini bukan contoh yang baik untuk ditiru. Idealnya, dengan
anggaran yang kecil, kita (seharusnya) harus menggalakkan penggunaan
opensource di segala bidang teknologi informasi pemerintahan
(e-government dan e-governance), sehingga anggaran bisa dihemat baik
dari mata anggaran belanja (pengadaan) maupun mata anggaran pemeliharaan
(maintenance).
Penggalakkan ini harus dilakukan
jika memang ada niatan yang serius dari pemerintah untuk menciptakan
Indonesia Goes Open Source (IGOS). Contohlah Bangladesh, negara miskin
yang sukses dengan program pengaplikasian opensource di kalangan
pemerintahan mereka. Dengan anggaran yang minim mereka tahu untuk tidak
memboroskan uang mereka pada produk proprietary, dan lebih menggalakkan
penggunaan opensource di tiap elemen pemerintahan yang tidak kalah
berkualitas dengan produk-produk proprietary. Akan tetapi, di sinilah
letak idealisme melawan realitas yang saya
maksud, idealnya dengan negara berpendapatan rendah seperti Indonesia
ini seharusnya tahu cara untuk menghemat biaya pengeluaran anggaran,
APBN, dengan menggunakan produk opensource dibanding menggunakan produk
proprietary.
Permasalahan yang muncul adalah
malasnya masyarakat kita untuk bangun dari ketergantungan dengan produk
proprietary, padahal kita tahu bahwa dana untuk membeli kebutuhan
sehari-hari saja masih sulit apalagi untuk membeli produk-produk
proprietary, sehingga pembajakan terhadap produk proprietary sudah
menjadi hal yang biasa. Realitas ini yang menjadi hambatan Indonesia
untuk maju dan berkembang dalam dunia teknologi informasi yang mandiri,
khususnya di sektor pemerintahan yang menjadi garda terdepan dalam
mendorong berjalannya IGOS.
Ingatlah ketika kita pertama
kali menggunakan produk-produk proprietary, pasti kita juga tidak
langsung bisa menggunakannya bukan? Sama halnya dengan produk-produk
opensource, jika kita tidak belajar untuk mencoba dan mencintai, maka
kita tidak akan tahu apa saja manfaat yang bisa kita ambil dengan
menggunakannya. Semoga setelah Anda membaca artikel ini Anda mempunyai
niatan yang kuat untuk beralih menggunakan opensource. Salam. :)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !